Senin, 03 Januari 2011

Bagaimana pengaruh budaya terhadap Agama di Aceh


Bagaimana Pengaruh Budaya Terhadap Agama Di Aceh?
Memasuki awal tahun 2002, masyarakat Aceh memasuki babak baru dalam kehidupan sosial politik, budaya dan aspek kehidupan lainnya. Mulai tahun 2002 ini, syariat Islam diterapkan dalam berbagai kehidupan masyarakat Aceh. Perjuangan panjang yang melelahkan terlampaui sudah. Secara politis, di Aceh diterapkan syariat Islam melalui Undang-Undang No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-undang No. 44 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Aceh. Berdasarkan kedua undang-undang ini DPRD Propinsi Daerah Istimewa Aceh menetapkan Perda Propinsi Daerah Istimewa Aceh No. 5 tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Syariat Islam.
Kenyataannya, Islam dalam masyarakat Aceh telah mendarah daging di dalam segala aspek kehidupan sejak zaman dahulu. Ajaran Islam mengakar kuat di dalam sanubari hati dan jejak langkah kehidupan masyarakat. Bagi orang Aceh, ajaran agama merupakan tolok ukur dan barometer atas segala sikap, tindak-tanduk, perbuatan, dan penampilan mereka dalam pergaulan sesamanya. Sikap dan pandangannya dan segala macam bentuk benar-salah, bagus-jelek, baik-buruk dan segala macam bentuk penilaian selalu dikaitkan dengan ajaran agama Islam.
Masyarakat Aceh benar-benar menghayati ajaran agama Islam dalam kehidupannya. Penghayatan yang begitu besar dan mendalam terhadap ajaran agama Islam diwujudkan dalam bentuk akulturasi antara adat dan ajaran agama. Hal ini berarti seseorang yang telah berperilaku dan bersikap sesuai dengan yang dituntut atau digariskan dengan adat, ia telah berperilaku dan bersikap sesuai dengan ajaran agama atau sekurang-kurangnya tidak keluar dari bingkai agama yang mereka anut (M. Hakim Nyak Pha, 2000:10).
Oleh karena itu, semua gerak kehidupan masyarakat selalu terikat pada syariat Islam yang dikemas dalam bentuk adat (hukum) dan adat-istiadat. Keadaan ini tampak pada beberapa aspek seperti termaktub dalam beberapa hadih maja seperti Adat bak Poteu Meurohôm, hukom bak Syiah Kuala, kanun bak Putrôe Phang, reusam bak Lakseumana; hukom ngon adat lagee dzat ngon sipheuet dan hukom adat hanjeut cree lagee mata itam ngon mata puteh. Ungkapan-ungkapan tersebut memberikan pencerminan dari perwujudan syariat Islam dalam praktik hidup sehari-hari masyarakat Aceh. Kemudian tidak berlebihan apabila Aceh mendapat gelar Serambi Mekkah, Semangat Perang Sabil, Kerajaan Aceh Darussalam. Kesemua itu wujud dari semangat dan nilai yang lahir dari perpaduan tadi. Namun demikian dalam kerangka penerapan syariat Islam di kalangan remaja putri (baca: busana muslimah) kondisi ideal seperti tersebut di atas perlu dicermati kembali. Hasil penelitian Agus Budi Wibowo di Banda Aceh tahun 2000dan di Sabang tahun 2001 tentang aspek busana muslimah di kalangan remaja putri menunjukkan bahwa masih ada remaja putri muslim yang belum berbusana muslimah secara kaffah dan ada beberapa faktor mengapa mereka masih berperilaku demikian.
Membahas sisi-sisi budaya Aceh, tentu komitmennya tak lepas dari nilai-nilai wujud sejarah keacehan pada era kesultanan Aceh, terutama masa-masa kekuasaan Sultan Iskandar Muda( 1607 – 1636 ). Keberhasilan Iskandar Muda dalam penerapan sistem politik pemerintahan, kemasyarakatan, ekonomi maupun sosial budaya yang kuat, tangguh serta perannya dalam segala hal termasuk dunia internasional, menjadi acuan sebagai standar rujukan. Ketangguhan pemerintahannya saat itu, karena di latar belakangi kemampuannya membangun suatu kultur dan struktur tatanan masyarakat Aceh menjadi salah satu segmen peradaban manusia ( civilization of human right ), yang tersimpul dalam nilai-nilai filosofi, narit maja : ” Adat ngon hukom ( agama), lagei zat ngon sifeut ” yang struktur implimentasinya disimpulkan dalam ” Adat bak Poe teumeureuhom, hukom bak Syiah Kuala, Kanun bak Putroe Phang, Reusam bak Lakseumana ”          
Narit maja ini menjadi sumber pijak kreasi budaya Aceh yang dalam masyarakatnya lebih dikenal dengan motto adat : Adat ngon hukom ( agama ) lagei zat ngon sifeut, sebagai  way of life  ( landasan filosofis ) dalam bentuk “adat/ adat istiadat “ Penamaan adat dalam konteks budaya keacehan, memberi makna budaya Aceh dijiwai oleh nilai-nilai Islami yang tak boleh lepas sebagai akar tunggalnya untuk berkreasi membangun tataruang kehidupan masyarakat menuju kebahagiaan dunia dan akhirat ( menangkap kebahagiaan kembali kemasa depan ). Dalam hubungan inilah maka budaya adat Aceh, melahirkan action building dalam bentuk : adat istiadat dan nilai-nilai normatif( hukum adat).
Kebudayaan sangat erat hubungannya dengan masyarakat. Melville J. Herskovits dan Bronislaw Malinowski mengemukakan bahwa segala sesuatu yang terdapat dalam masyarakat ditentukan oleh kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat itu sendiri. Istilah untuk pendapat itu adalah Cultural-Determinism.
Herskovits memandang kebudayaan sebagai sesuatu yang turun temurun dari satu generasi ke generasi yang lain, yang kemudian disebut sebagai superorganic. Menurut Andreas Eppink, kebudayaan mengandung keseluruhan pengertian nilai sosial,norma sosial, ilmu pengetahuan serta keseluruhan struktur-struktur sosial, religius, dan lain-lain, tambahan lagi segala pernyataan intelektual dan artistik yang menjadi ciri khas suatu masyarakat.
Menurut Edward Burnett Tylor, kebudayaan merupakan keseluruhan yang kompleks, yang di dalamnya terkandung pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan kemampuan-kemampuan lain yang didapat seseorang sebagai anggota masyarakat.
Martabat Aceh atau nilai keacehan ditentukan oleh perilaku budaya orang Aceh. Perilaku budaya ini tertuang dalam pemahaman dan sikap beragama, berbahasa, adat istiadat, hukum, akhlak, kesenian, cara beribadat dan sebagainya dari masyarakat Aceh itu sendiri. Sejauh mana perilaku budaya itu masih berjalan di atas kondisi normal atau wajar, bukan yang diamalkan secara terpaksa.
Kalau kita amati perilaku budaya Aceh itu nampaknya telah terjadi erosi. Hal itu disebabkan oleh dua faktor, pertama pengaruh dari luar, yaitu sikap budaya Aceh telah bergeser karena adanya tekanan dari luar Aceh yang melanda Aceh karena globalisasi yang tidak dapat dielakkan.
Hal ini tampak dari model pakaian yang dipakai, kendaraan yang dinaiki, perlengkapan rumah yang dimiliki sebagai produk global yang melanda dunia. Celana pantelon, jins, sepeda motor, kompor gas, kulkas adalah salah satu wujud realitas dari perkembangan zaman. Kedua, pengaruh dari dalam masyarakat Aceh itu sendiri. Pengaruh dari dalam dapat terjadi ketika orang Aceh sendiri telah melunturkan nilai-nilai keacehannya yang disebabkan oleh mental orang Aceh yang tidak setia kepada budayanya (Yusni Sabi, 2000: 16).
Akibat adanya kedua kekuatan yang mempengaruhi kondisi kekinian dari budaya Aceh tersebut adalah melemahnya ikatan-ikatan tradisional seperti berubahnya hubungan antargenerasi dan perkawinan sehingga kultur kehilangan kontrol terhadap pembentukan suatu tipe sistem sosial. (Irwan Abdullah, 1999). Otoritas tradisi dalam hal ini mulai melemah yang digantikan dengan rasionalitas yang kemudian menjadi pegangan dalam setiap pengambilan keputusan. Orang tua (akibat perubahan hubungan antargenerasi) atau pemimpin mulai kehilangan otoritas tradisional dalam berhubungan dengan masyarakat sehingga kontrol hanya dilakukan dengan instrumen kekuasaan modern yang lebih kompetitif dan berdasarkan negosiasi.
Hal-hal seperti tersebut di atas sedang dihadapi pula oleh remaja putri di Aceh. Realitas remaja putri kekinian yang tampak adalah mereka lebih “bebas” dibandingkan dengan generasi sebelumnya. Menurut Abidin Hasyim dkk, di kalangan orang-orang berpendidikan terutama yang hidup di kota telah terjadi pergeseran budaya malu. Bagi golongan ini keserasian hubungan keluarga tidak dicapai melalui sikap menghindar, membatasi pergaulan dan sebagainya (Abidin Hasyim dkk, 1997).
Keserasian menurut mereka dapat diperoleh melalui hubungan yang normal, rasional, dan saling menghormati.
Bagi mereka yang telah terbiasa dengan pergaulan kota tidak menimbulkan seks phobia terhadap hubungan, misalnya hubungan antara menantu laki-laki dengan ibu mertua. Mereka tidak memandang hubungan itu dengan konotasi seksual. Hubungan dapat berlangsung wajar, rasional dan saling menghargai. Keserasian hubungan keluarga dapat ditegakkan atas dasar nilai-nilai baru yang lebih rasional. Dengan demikian, para orang tua dapat “menerima” apabila melihat putrinya tidak berpakaian muslimah secara kaffah.
Remaja putri di Aceh berusaha menampilkan gaya busana yang tidak ketinggalan zaman, namun mereka juga tidak ingin dikatakan melupakan akarnya (pakai jilbab). Sehingga remaja ini memakai jilbab tetapi pakaian mereka menampilkan gairah anak muda (pakaian ketat). Dengan demikian, ada perpaduan antara budaya lokal dengan nilai-nilai globalisasi/budaya luar, yang seperti dikatakan oleh Jailani M. Yunus (2000), yaitu jilbab yang dihiasi dengan lipstik tebal, lekuk tubuh yang menantang mata, dan perilaku agresif.
Dalam masyarakat Aceh ada beberapa aturan yang mengatur hubungan antara anak dengan orang tua, suami-istri, menantu-mertua. Misalnya saja dalam kaitannya dengan remaja putri, seorang ibu/ayah malu apabila anak perempuannya berpakaian kurang pantas sehingga anaknya dianggap tidak mengetahui adat-istiadat. Dalam kontak fisik, adanya canda bersifat sentuhan fisik antara anak dan orang tua dianggap kurang pantas. Kalau hal itu dilakukan di depan umum dapat menjatuhkan martabat orang tua di mata anaknya sendiri.
Adapun upaya pengendalian terhadap perilaku yang menyimpang dari budaya malu dalam masyarakat dapat dilakukan melalui dua cara, yaitu cara preventif dan refresif. Usaha yang disebutkan pertama dapat dilakukan melalui proses sosialisasi, pendidikan formal dan informal serta sikap menghindar, sedangkan usaha kedua dapat dilakukan melalui penjatuhan sanksi adat, penyebaran rasa malu terhadap para anggota yang melanggar atau menyimpang dari kaidah-kaidah yang berlaku.
Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah mereaktualisasi sistem budaya masyarakat (baca: budaya malu) sebagai bagian membentengi budaya (termasuk juga remaja putri) dari pengaruh luar. Hal itu dapat dilakukan melalui proses sosialisasi, yaitu memperkenalkan, mendidik budaya malu sejak anak masih kecil, baik dalam pendidikan di lingkungan keluarga maupun masyarakat. Rumah tangga dan keluarga merupakan pilar pertama dan memegang peran penting agar anak dapat mereduksi sesuatu yang berasal dari dunia luar. Adapun lembaga formal dan masyarakat berperan dalam pendidikan sopan-santun dan akhlak. Dengan demikian diharap-kan untuk masa mendatang remaja putri di Aceh adalah generasi yang mempunyai pendidikan tinggi, tetapi mempunyai moral (budaya malu) yang tinggi pula. Tidak sekedar IQ (Intelegency Quotient) tinggi dan EQ (Emotional Quotient), tetapi diikuti ESQ (Emotional Spritual Quotient) yang tinggi. Wujud Aceh baru yang diharapkan dapat segera terbentuk


Tidak ada komentar:

Posting Komentar